Luka Dibalik Lelucon Panggung

Menjadi pembicara yang disorot dan tampak keren, tersimpan tanggung jawab yang tak kasat mata. Bukan hanya menyampaikan materi, tapi juga menjaga lisan agar tak menjadi duri bagi hati yang mendengarkan. Kepekaan terhadap audiens adalah kunci, namun seringkali terabaikan. Standar humor yang berbeda, atau abainya pembicara pada siapa yang ada di depannya, bisa berujung pada luka yang tak terduga. Pantaskah "kelakar" yang merendahkan itu terucap? Di awal awal pula. Saya sadar sih, itu gak mudah dan kadang orang bisa keceplosan. 

Membuat penonton fokus juga bukanlah hal mudah, maka tak heran, bisa membawakan humor dan orang tertawa akan jadi poin plus jika menguasainya. Tertawa itu memang melegakan dan menyenangkan, kok.

Daun Gugur
Gugur daun



Punya jam terbang tinggi atau bahkan profesi yang mentereng tidak luput dari kesalahan, namun mencoba mencari bahan tertawaan elegan sepertinya harus dibiasakan. Masih ingat donk dengan kasus penjual Es teh yang kebetulan dihardik pembicara di depan umum itu? Semua tertawa termasuk si korban perundungan. Ya korban mungkin bingung harus bersikap apa, akhirnya dia memilih diam dan tersenyum. Dia bisa saja memilih membalas, tapi sepertinya hal itu masih belum jamak dilakukan di Indonesia apalagi jika pembicara punya kuasa lebih.

Memilih untuk langsung pergi dari forum pastilah kurang elok dan akan membuat rusak suasana. Maka, menunggu sesaat dan kemudian keluar jadi pilihan yang mendamaikan daripada menahan sesak. Sakit hati dihina jelek? Tentu saja, apalagi jika melihat ekspresi orang yang menghina dengan jarak yang dekat. Lha dia sih enak, habis ngomong akan disambut tawa. Lha yang diomongin? Tersenyum sih, terus hatinya bergemuruh dan misuh-misuh.

Bercanda jangan bawa-bawa fisik deh pokoknya. Saya sendiri pernah juga semasa kuliah ditegur teman dengan baik karena saya bercanda tentangnya. Saya nyanyiin dia, "dud ah dud kamu ah gendud." Intinya gitu. Terus saya dijapri via SMS agar tidak mengulanginya. Saya kepikiran berhari-hari dan bertekad tidak akan bercanda seperti itu lagi, kepada siapapun, insya Allah. Apalagi sekarang saya jadi guru, sebisa mungkin kalau marah atau tidak, jangan menghina murid n gak bawa-bawa fisik. Semoga ya semoga dijaga dari hal begituan.

Coba bayangkan, duduk depan sendiri terus dibercandain pakai bahasa Jawa pula. Berbahasa Jawa itu menurut saya sangat dalam, entah mengapa kalau ada orang marah pake bahasa Jawa, itu tu berasa penuh emosi. "Kocomotonan, irunge ra mbentuk, lemu, ya intinya yang jelek-jelek" tanpa bisa membalas. Astagfirullah.... Diancuk sekali! Terus hinaan itu masih dilanjut dengan LELUCON SAMPAH yang sekali lagi, itu GILA!

Sebagai korban, wajar jika ingin menyendiri dan menangis. Memendam hanya akan menambah luka. Luapkanlah pada orang yang Anda percaya, atau biarkan air mata menjadi saksi bisu. Makanlah sesuatu yang Anda suka, biarkan rasa nyaman itu sedikit mengobati perih di hati. Rasakan emosinya, jangan ditangkis. Beri ia ruang sejenak, lalu lepaskan perlahan. Waktu memang tak menghapus ingatan, tapi ia akan membantu meredakan sakitnya. Ingatlah, senyum Anda terlalu berharga untuk direnggut oleh kata-kata orang asing yang tak bertanggung jawab.



Maafkan saya ya!




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Luka Dibalik Lelucon Panggung"

Post a Comment

Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D