Saya Menulis untuk Sambat (1)
Saya menulis ini karena terkesan dan merefleksi diri bahwa mengajar itu memang penuh tantangan. Kesombongan saya terpatahkan, saya yang sempat inginnya jadi guru dengan siswa juara olimpiade, juara lomba, juara ngomong Jerman, juara ini itu harus terkaget dengan apa yang dihadapi.
Jalan memang tidaklah mulus, dan menjadi guru tidak hanya sebatas itu saja. Mengajar di Sekolah besar, dengan jumlah siswa dua kali lipat dari sebelumnya, ditambah jurusan beragam, membuat saya harus mau belajar lagi. Bukan cuma belajar materi Jerman saja, tapi lebih dari itu.
Mungkin bagi sebagian orang, saya lebai karena baru tahu kalau dunia pendidikan memang sekompleks ini. Iyaa, ini pengalaman baru.
Ketika siswa sudah bermasalah dari Rumah, tak heran mereka bisa saja bermasalah di Sekolah.
Tinggal terpisah dari orang tua, orang tua punya keluarga lagi, anak jadi korban, karena tidak dipedulikan.
sambat |
Anak bangun siang dibiarkan, orang tua tidak kooperatif dan membiarkannya.
Anak suka berlaku kasar di Sekolah, karena sering diperlakukan demikian di Rumah.
Anak masuk rumah sakit, anak coba bunuh diri, karena bermasalah di Rumah..
Anak tidak punya sosok ayah
Saya tidak keberatan untuk belajar di Lingkungan baru, justru saya berterima kasih pada semesta dan sang pencipta karena saya jadi punya pengalaman.
Refleksi saya : Menikahlah saat matang lahir batin.. sementara itu dulu yang bisa saya tulis, karena saya mau melanjutkan tangis...
0 Response to "Saya Menulis untuk Sambat (1)"
Post a Comment
Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D