Cerita Berkendara ke dan dari Kongres Nasional Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia
Ini adalah sebuah kisah berkendara sebelum, saat dan sesudah.
Kongres Nasional Ikatan Guru
Bahasa Jerman Indonesia (IGBJI) tahun ini telah berakhir, namun bukan berarti
tugas belajar ikut berhenti, justru harus terus mengalir. Selama 3-7/8, penulis
menggodok diri dalam kolam ilmu, bertatap muka dengan para Guru berpengalaman,
memerhatikan mereka yang luar biasa, menyerap aura positif dan memodifikasi
beberapa hal.
Awal Cerita
Hampir saja, penulis masuk ke
Jurang kemalasan, dimana hasrat berangkat menipis entah kenapa. Tidak dibiarkan
berlarut, Bu Putu (Guru senior) “memaksa” penulis untuk tetap menanyakan kuota
peserta. “Kesempatan ini mau sengaja kamu sia-siakan?” Katanya secara tersirat.
Hmm, untungnya masih dibuka pendaftaran dan jadilah penulis peserta terakhir
yang mendaftar. Hasilnya, yang tadinya harus membayar xxx, penulis membayar
sebesar xxxx. Hmm, tak apa, lagi pula
penulis tidak keluarkan sepeserpun. :D
Jika
saja hari itu penulis tetap malas, maka tak mungkin ada banyak hal yang
menginspirasi seperti saat ini. Sebelum penyesalan itu datang, Tuhan telah
mengirim pelecut(Bu Putu) untuk penulis. Danke Gott!
Artikel
ini akan menulis sudut pandang lain, belum masuk pada materi inti Kongres yang
bertemakan Literasi TIK dalam Pemelajaran Bahasa Jerman Demi Suksesnya Program
“Guru Pemelajar”: Perubahan dan Tantangan.
Berangkat
Pada perjalanan kali ini,
Tuhan telah mempermudah banyak hal. Salah satunya urusan transport. “Saya
mikir?” Gak hahha. Untuk keberangkatan mbak Ajeng menanganinya. Ia yang memilih
dan memesankan tiket pesawat Lyon Air.
Saya tetep nuker kok, tapi lagi-lagi bukan pake uang sendiri. :D Schwein gehabt! Ini perjalanan dinas
men.
Review Singkat Lyon Air Solo-Jakarta
Sehari sebelum berangkat,
saya melihat berita yang mewartakan bahwa Lyon
Air terlambat 12 jam. Hmmm, untung pada keberangkatan kami (Mb Ajeng, Mb
Rhea dan saya) pesawat hanya sedikit terlambat. Dari yang harusnya 09.45 jadi
10.25.
Kami berangkat dari Bandara
kebanggan Boyolali, yaitu Bandara Adi Sumarmo. Boyolali punya lo! Ini juga jadi pengalaman perdana saya berangkat
dari kandang sendiri. Bandaranya bagus kok, tapi
isinya belum total. Pokoknya, pengamatan saya pribadi ya, isi bandara ini masih
ragu-ragu antara Kota banget tapi ndeso. Ndeso tapi kota.
Bdw, saya gak foto.. tempat selfie-nya itu berbackground pesawat gitu lah.
Oya, enak naik Lyon Air? Iya
enak, tapi saya gak merasa kalo lagi naik pesawat, lha cepet banged si, tau-tau
udah nyampe Jakarta. Hehe! ;D Intinya, asyik kok. Pramugari dan pramugaranya
lumayan menarik.
Untuk harga yang bersahabat,
@309.000 pada waktu itu, sudah cukup kok. Ga nyesel lah, walaupun saya sering
berharap di Pesawat lokal tetap dapat snack, minimal permen toh... Sayangnya
gak :D
Di Soeta
Sesampainya di Bandara Soeta,
kami kelaparan. Saya yang paling kecil dan sudah diplot agar bisa disuruh-suruh
yang tua, merengek minta makan dulu. Yang saya mau adalah makan dengan porsi
besar. Setelah naik bis bandara, luntang-luntung, antri beli snack, ambil uang
di Atm, mba Ajeng pun mengarahkan kami ke Solaria.
Saya langsung pesen Nasi goreng yang piringnya besar. Dengan kemlinthi, saya sesumbar bahwa akan lahap makan nasgor. Hahaha, dan akhirnya gara-gara Nasgor saya mau muntah di Jalan. Banyak banged isinya!
Menuju Tempat Konggres
Tujuan kami berikutnya adalah
ke PPPTK (P4TK) Bahasa di Jakarta
Selatan. Bagaimana menuju P4TK? Dari Soeta naik bus Damri, turun di Stasiun
Pasar Minggu, dari Pasar Minggu naik angkot ke arah Depok dan turun di Depan
KFC.
Di dalam Angkot, saya Cuma
keinget FTV. Hahahah. Mana angkotnya jadi penuh gara-gara kami bawa 3 koper.
Biayanya cukup murah, 5000rb.
Pada Saat Konggres
Hari pertama pembukaan
Konggres, kami diajak ke Goethe Institut
di Jalan Sam Ratulangi. Dari P4TK kami diboyong menggunakan bus. Hiiiiih, butuh
2 jam mak sampe sana. Berangkat setengah 6 pagi, sampe wisma jam setengah 9.
Jakarta macet. Malah cepet Solo – Jakarta daripada Jakarta ke di Jakarta.
Hahah. Tapi, menyenangkan.
Pulangnya, bis kami diklakson
banyak mobil gara-gara kelamaan berhenti di Tengah jalan. Sumpah, berisik
banget kayak orang mau demo. T.T
Di dalam bis yang terdiri
dari orang-orang berbagai kepulauan Indonesia itu, khitmat mendengarkan cerita
salah satu ibu. Katanya, sebelum shubuh dia harus sudah siap berseragam, jadi
nanti setelah sholat dia bisa langsung berangkat kerja. Udah dibela-belain
berangkat sangat pagi, tetap aja masih sering telat. Belum lagi, ntar
pulangnya. Pulang jam 15.00, sampe rumah habis maghrib.
Buk, istirahatnya kapan?
Pulang Konggres
Saya rindu naik kereta. Atas
dasar itulah, saya minta pulang sendiri, gak bareng mba Ajeng dan Rhea. Alasan
lain sih, karena harga kereta ekonomi lebih murah. Beheheh.
Saat peserta lain rame-rame pesen taxi menuju Bandara, saya naik angkot. Saat rombongan yang saya temui malas jalan ke Jalan besar, saya jalan cari angkot. Saat Pak Satpam menyuruh Ibu-ibu menunggu Taxi di Depan Wisma saja, saya Cuma ditanya “kemana neng?” Pak... kamu gak peka! Hahah. Waktu saya bilang mau naek angkot, mereka Cuma bilang hati-hati. :D
Saya kangen suasana di
Ingelheim itu aja. Itu yang kemudian bikin saya mau jalan-jalan di Jakarta,
naik angkot, naik KRL, desak-desakan di Stasiun dan menikmati enaknya berkereta.
Hahahaha.
Tapi saya kemudian jadi mikir.
Waktu adalah uang dan uang adalah waktu. Kalo saya naek pesawat, saya Cuma
butuh 1 jam buat sampai Solo, tapi keluar uang agak banyak. Kalo saya naek
kereta, saya butuh waktu 9 jam di dalam Kereta, tapi keluar uang tidak sebanyak
jika naik pesawat.
Naek angkot : 3rb, naek KRl :
2rb, naek Kereta (pesan mendadak) : 230. Durasi total 12 Jam.
Jika saya bandingkan
Naek Taxi : 30-50rb, naek
pesawat : 380. Durasi Total 6 Jam.
Kalo kamu pilih mana?
Udah
segini dulu curhat di dalam Kereta Jaka Tingkir menuju Purwosari.
07/08
0 Response to "Cerita Berkendara ke dan dari Kongres Nasional Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia"
Post a Comment
Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D