Begitulah
Belum
lama ini bapak dari seorang teman berpulang, kabarnya sang Bapak punya riwayat
darah tinggi. Kebetulan saya sedang di Rumah, maka saya pun turut melayat. Semasa
sekolah dulu, saya sering main ke Tempat teman ini dan disuguhi macam-macam. Selain
main, saya juga sering njajan mie rebus pedes di Situ. Yang paling teringat,
kalo saya njajan mie, si Bapak sering memberi porsi lebih, kadang telurnya
dilebihin, mie atau ayamnya. Wenake.....
Haru
biru pada layatan pun terjadi, ketika anaknya yang sudah besar menangis dan
hampir pingsan di dekat keranda. Sang anak yang tinggal dilain kota
memanggil-manggil sang Bapak seakan tak percaya. Saya duduk tak jauh dari lokasi
adegan terjadi. Momen ini makin membuat suasana haru, mayoritas pelayat ibu-ibu
menangis, sesenggukan dan wah jujur saja saya juga turut menjadi bagian
mayoritas itu. Batin saya berkecamuk, mengingat 2 tahun lalu Bapak saya sendiri
meninggal. Bedanya dulu saya tidak ikut melayat Bapak. Saya gak bisa pulang,
waktu itu baru beberapa bulan di Jerman. Saya ikut terenyuh waktu si anak
menangis kehilangan dan samping kanan kirinya menenangkan. Ditanya kenapa
menangis, saya susah menjelaskan. Pokoknya terharu dan gitu lah.
Baru
saja, rekan seangkatan saya juga dipanggil olehNya. Kami(beberapa teman) menduga,
dia juga punya riwayat darah tinggi. Namanya Ldo(saya singkat), dia ini se-SMA
dan setelah lulus kuliah bekerja menjadi guru di mantan SMA kami.
Saya pribadi
sih tidak kenal dekat, Cuma saya tahu dia dan begitu juga dia. Hubungan
pertemanan kami kembali hidup saat dia mengomentari foto saya di Paris. Masih ingat
jelas, waktu dia menulis demikian, “Ayo mbak sini berjuang bareng-bareng!” Ya,
waktu itu ada wacana saya pulang dan mengajar di SMA. Kebetulan, waktu masih
tidak di Indonesia, saya ditawari berkarir di SMA. Pilihan ini sedang saya jalani
sekarang.
Saat
saya kembali belum lama ini dan mulai masuk SMA, kami sempat berkomunikasi. Ya,
kalo ketemu di Sekolah minimal tegur sapa dan sedikit tukar kabar. Anaknya anteng
dan sopan. Dia juga sempat mengingatkan penulis supaya jangan kebanyakan diam
(maksudnya disuruh ngobrol gitu). Hehehe. Mein
Freund juga punya kenangan baik sama Ldo. Semasa sekolah Ldo juga sering
mboncengin mein Freund kalo pulang
sekolah. Kata mein Freund, anaknya
lucu.
Kejadian
haru biru yang membekas kemarin adalah ketika melihat bapak-ibu dan kakak Ldo. Saya
duduk di belakang kakak kandung Ldo yang jebol pertahanannya untuk tidak
menangis. Ibu-ibu dibelakang saya komentar bahwa wajar saja si kakak begitu,
lha wong Ldo itu adik satu-satunya. Tangisannya bikin saya gak karuan. Lebih gak
karuan lagi ketika melihat ibu Ldo yang berusaha kuat. Saya langsung ingat ibu
saya sewaktu menghadapi hal semacam ini. Ibu saya juga begitu waktu kakak saya
meninggal.
Siapa
mengira ditingal anak terlebih dulu. Tak pelak kami pelayat wanita menangis
saat menyaksikan Ibu Ldo mengantar jenazah masuk dalam ambulan sambil bilang, “Ati-ati
yo le, khusnul khatimah yo le, le wong ratau nggelani wong tuwo, ati-ati le!”
(Hati-hati ya nak, khusnul khatimah ya nak, wong gak pernah bikin kecewa ortu,
hati-hati nak!) .
Ibu
Ldo seperti mengantar anaknya kalo mau berangkat sekolah. Ini Cuma bayangan
saya, mungkin seperti itulah kalo Ldo pamit mau sekolah/kerja, sang ibu akan
berpesan ati-ati yo le...
Saya
sendiri masih kaget, tetapi apa daya, inilah kehendakNya. Semoga mereka yang
ditinggal tetap tabah dan semangat melanjutkan sisa hidupnya. Begitu juga saya!
Kadang saya juga bertanya, kenapa begini kenapa harus begitu kenapa mereka
pergi di saat itu, kenapa dan kenapa harus bla bla.....
Begitulah.....
Moga Ldo bersama orang orang yang beriman.
ReplyDeleteAmiennnn.....
ReplyDelete