Perjalanan : Sebuah Proses Mencari Jawab
Sebelum
Memulai Perjalanan
Sejak beberapa minggu
lalu, rinduku pada kampung yang dihuni Ibu makin menggebu. Ingin rasanya
kembali dan melepas dahaga, tetapi tugas dan tanggung jawab yang kuemban
belumlah tuntas. Hari-hari berganti dan perasaanku tak kunjung padam. Lalu pada
saat-saat itulah, kota Salzburg timbul tenggelam di Pikiranku. Hatiku sempat
bicara di malam-malam pekat sebelum aku tertidur, “Pergilah Ke Salzburg, selami
dirimu sendiri saat ini.” Kata-kata itu seperti menggantung di Kepalaku. Sampailah
pada suatu hari, langkah menggapai kota kelahiran Mozart itu terasa ringan.
Ingatkah kau pada nona
Azalia yang kukenal lewat blog ini? (Kopi darat tanpa kopi) Semenjak kedatangan perdananya ke Hunianku,
kami sering berolok-olok akan bertemu kembali. Ia tinggal di Augsburg, Bayern,
Jerman. Kata hatiku bilang lagi untuk menengok dia dan Kotanya. Hal menarik
yang kudengar tentang Augsburg ialah Fuggerei.
Cerita itu mengalir dari Ika. Di hari dimana ia menceritakan Fuggerei,
penasaranku terpupuk dan tumbuh subur. Baiklah, ku ikuti kata hatiku,
perjalanan ke Salzburg dan Augsburg adalah panggilan dari dalam diriku. Dengan
nama Allah, tekadku bulat walaupun uang saku tak bulat-bulat.
Kudengar
Kata Hatiku
Setelah sama-sama
mendapat jatah libur akhir pekan tanggal 12 dan 13 September, mulailah aku
rajin mengecek harga tiket. Dengan pelbagai pertimbangan, naik bus menjadi
keputusan yang paling baik saat itu. Tiket yang pertama aku pesan adalah tiket
pulang dari Augsburg ke Mainz, harganya 10.32 Euro. Kata hatiku bilang katanya
sebaiknya tiket pulang seharga 10.32 jangan disia-siakan, untuk urusan
berangkat aku disuruhnya bersabar beberapa hari. Betul ternyata, pagi hari
sahabis terjaga dari tidur nyenyak (7/9), tanganku merangkak-rangkak menggapai
ponselku. Segera kucek di Busliniensuche.de harga tiket dari Mainz ke Augsburg
hari jumat (11/09). Kata hatiku dengan bangga berkata, “Tuh kan apa kubilang,
sabar sedikit kamu dapat 5 Euro.” Gila, cepat-cepat kupesan tiket itu. 5 Euro
untuk sebuah tiket menuju kota di Negara bagian lain? Inilah jalan yang
dibukakan Tuhan untukku.
Perjalanan
Menjawab Pertanyaan Kata Hati
Semua serba cepat dan
santai. Keputusanku ialah menuju Augsburg, paginya ke Salzburg dan hari minggu
akan kuhabiskan dengan nikmat di Augsburg. Di tengah jalan, hatiku sempat goyah
karena membayangkan bahwa bakal banyak keterlambatan dan kereta penuh karena
mengangkut pengungsi yang akan datang ke Műnchen. Jadinya, kubuat rencana B,
yaitu tetap ke Augsburg, lalu paginya ke Lindau (Bayern) dan hari terakhir
tetap di Augsburg.
Tapi ya, dari awal aku
seperti dipanggil-panggil datang ke Salzburg. “Udah pit, ke Salzburg ajalah.”
Saran Ika, waktu kami secara spontan ketemu di Augsburg (11/9). Hatiku bimbang
sekali sampai menjelang tidur di Kamarnya Azalia. Hmm, apalagi gelombang
pengungsi deras berdatangan. Yang berkecamuk dalam anganku adalah, betapa
ramainya gerbong kereta nanti dan mungkin saja tak akan ada kereta pulang dari
Salzburg ke Műnchen.
Toh keesokan paginya,
aku tetap berangkat ke Műnchen. Jadi, dari Ausgburg – Műnchen – Salzburg
rutenya. Ingin ku lihat sendiri kondisi pengungsi yang memenuhi Műchen seperti
yang diwartakan televisi. Sesampainya di Sana, semua serba biasa. “Di mana
mereka?” kucari di dalam Stasiun, yang kutemukan Cuma beberapa. Kutengok keluar
dan yang kulihat hanya mobil-mobil polisi ini.
Waktuku sempit, tak sempat lagi aku harus mencari karena keretaku telah tiba. Aku harus cepat naik karena banyak sekali turis yang menuju ke Sana. Kegalauanku terjawab, ada banyak orang yang menuju ke Salzburg di masa seperti ini. Wajah-wajah Asia lain nampak memenuhi pandanganku dalam kereta.
Waktuku sempit, tak sempat lagi aku harus mencari karena keretaku telah tiba. Aku harus cepat naik karena banyak sekali turis yang menuju ke Sana. Kegalauanku terjawab, ada banyak orang yang menuju ke Salzburg di masa seperti ini. Wajah-wajah Asia lain nampak memenuhi pandanganku dalam kereta.
Dua jam lamanya aku
duduk di Kereta, disampingku adalah sebuah keuarga dari Itali yang sedang
berdiskusi. Suaranya benar-benar keras, kupikir waktu itu mereka sedang
berdebat. Apalagi gestur tubuh dan mimik wajah antara anak dan Ibu itu seperti
orang marah-marah. Mukanya kusut dan seperti saling tuduh. Tapi aku tak tahulah
hahaha.
Cuaca cerah, mereka
yang membawa ransel turun dari kereta dengan wajah berbinar-binar sebinar sinar
mentari. Cieeee! Aku yang ke Salzburg karena panggilan dari dalam hati, seperti
mengalami De Javu. “Kayak pernah ke Sini” pikirku bergaya-gaya.
Kuayunkan kakiku
mengambil peta terlebih dahulu walaupun sebenarnya aku sudah mengunduh peta. Di
Sana orang-orang berjubel mengantri. Kurobek tiga lembar peta untukku dan 2
orang Korea di belakangku.
Perjalananku
betul-betul santai, langkahku pelan menikmati jalanan yang termasuk sepi. Di
Salzburg, aku tak perlu naik bis, semuanya berdekatan. Aku bertanya dalam hati
mengenai banyak hal yang sedang aku alami. Pekerjaan, ide, keinginan, impian,
masalah yang menyebalkan, emosi dan lain lain satu-satu kupikir di atas Jalanan
Salzburg. Malah aku sempat mengumpat sendiri pada masalah sepele yang akhirnya
aku temukan solusinya. Kadang-kadang, yang kubutuhkan adalah sendiri untuk
menyelami diriku, menemukan jawabannya dan merangkumnya.
Tidak ada ketakutan
saat berkeliling kota. Saat naik ke Atas (Festung Hohensalburg), perasaanku
menjadi ringan karena tekanan dalam hatiku seperti sudah dilarung dialiran
sungai salzlach. Sekarang aku jadi lebih bersemangat. Sebuah jawaban yang
ternyata kutemukan sendiri di Salzburg. Apapun aku sekembalinya dari Sini
adalah manusia yang memiliki harapan bahwa keadaan selalu bisa diciptakan
dengan bentuk yang membahagiakan.
Salzburg ramai
pengunjung, di depan rumah tinggal Mozart, orang-orang memfoto bangunan
berwarna kuning itu. Aku diam mematung dan hatiku cerewet sekali, ia bilang
begini, katanya aku harus bersyukur dan jangan sering berburuk sangka, sekarang
katanya aku bisa dengan tenang mematung di Tengah kerumunan tanpa ketakutan,
tanpa harus sembunyi. Aku disuruhnya berkaca pada orang-orang yang mengungsi di
Jerman. Pernah kulihat dan kudengar gambaran mengenai Siria. Bom meledak dan 2
anak kecil menangis terekam kamera. Mereka lari menyelamatkan diri hanya
berbekal baju yang dikenakan.
Menuju Műnchen, aku
melihat ratusan orang digiring oleh beberapa petugas. Mereka ini pengungsi dari
Siria. Aku melihat beberapa mereka menggendong ransel dan anak-anak. Diam-diam
kucuri foto mereka. Ternyata, mereka sekerata denganku. Mereka disatukan dalam
3 gerbong. Aku sempat masuk ke Gerbong mereka dan merasa asing karena semua
berbahasa Arab. Tak lama, terdengar dari pengeras suara arahan berbahasa Arab
untuk mereka. Yang aku mengerti Cuma “Assalamualaikum dan Ahlan Wa Syahlan!”
aku sejenak melihat, ada seorang anak yang senang sekali dapat minuman kotak
dari relawan. Kupikir, ia belum paham. Mungkin dikiranya ia akan diajak
berplesir bapak ibunya. Si anak cengengesan dan berlar-lari. Oh, dunia anak
selalu terlihat bahagia.
Aku kemudian pindah
gerbong yang penuh orang-orang berbahasa Jerman dan orang berwajah Asia. Hawa
dan baunya sungguh berbeda. Yang tadi kurasakan adalah hawa kelelahan,
kecapaian, kelegaan dan entahlah warna di Dalam gerbong tadi seperti
keabu-abuan. Jika di Sana tadi abu-abu, di Gerbong sekarang kulihat warna
kuning cerah. Itu karena sinar matahari menerobos jendela kereta. Kucari tempat
duduk dan kudengar banyak orang sedang tertawa senang. Oh ternyata di Sampingku
ada seorang ibu dengan puas menonton hasil fotonya. Berbeda sekali. Ini baru
satu kereta, macam-macam sudah perbedaannya.
Sampai di Munchen, aku
berjalan dan ada polisi yang menanyai asalku. Ketika ku jawab Indonesia, ia
enggan melihat passporku. Aku tahu, dikiranya mungkin aku juga pengungsi karena
aku berjilbab. Polisi tadi juga bilang Sorry kepadaku.Aku melihat lagi seorang
Ibu Arab, menggendong bayi, membawa ransel dan harapan akan kehidupan.
Kupejamkan mataku di Kereta meuju Augsburg lalu kukatakan pada hati, kalo aku
berterimakasih padanya. Terimakasih karena membawaku melihat kenyataan dan
kemanusiaan. Terimakasih karena memberi pelajaran dan pengertian akan
kehidupan.
Yang bisa kulakukan
adalah ikut meminta pada yang Kuasa, semoga peperangan segera usai. Semoga
kekacauan segera berlalu.Semoga.....
Sesampainya aku di
Augsburg, pikiranku pada kampung yang dihuni Ibu sedikitpun tetap tak hilang.
Kerinduanku masih sama namun ada beberapa jawaban dari pemikiran yang
menyadarkanku akan sesuatu.
0 Response to "Perjalanan : Sebuah Proses Mencari Jawab"
Post a Comment
Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D