Kepingan Kecil di Frankfurt
Seringnya yang kuharap
dari acara seminar FSJ-ku adalah
segera makan siang dan cepat pulang. Seminar (18/08) agaknya berjalan sesuai
yang aku pikirkan, cepat, tidak terlalu membosankan dan bisa dimengerti.
Temanya sederhana, tentang Konflik dan pesertanya Cuma tujuh biji.
Tujuh anak yang berbeda latar belakang ini
baru bertemu saat itu juga. empat dari Jerman seperti biasanya, tampak kaku
diawal dan baru mau membuka percakapan setelah kusapa. Hal membuka percakapan
selalu mudah kulakukan, tapi kalau mereka lawan bicara sudah mau terbuka dan
berbicara tema-tema yang meloncat-loncat, siap-siap kepalaku jadi berat,
telingaku kubuka lebar, otakku kusuruh tanggap mencari gambaran konkret apa
yang mereka katakan. Untungnya, orang Jerman seperti sudah biasa menghadapi
pendatang, mereka bisa membaca pikiran dan menransfer pembicaraannya dengan
bahasa yang agak sedikit gampang. Kadang kala, kalau aku minta mereka
menjelaskan sebuah kata baru, mereka berpikir sejenak untuk mencari padanannya
dan bisa dimengerti. Seperti menjelaskan pada anak tiga tahun, pikirku.
Pelajaran penting yang kudapat : Ternyata bicara sederhana itu tidak selalu sederhana.
Selain empat anak
Jerman itu, tiga yang lain dari Madagaskar, Mexico dan terakhir itu aku, dari
Indonesia. Jika berhubungan dengan anak dari luar Jerman, tidak banyak
kesulitan yang kutemui. Saat 2 anak itu mengambil tempat duduk, tepat disamping
kanan dan kiriku, kami sudah senyum-senyum penuh arti, yang entah kenapa mereka
dan aku seperti bilang : Yes ada pendatang juga! Aku sendiri mengatakan pada
diri sendiri, sepertinya akan lebih cepat akrab dengan yang Madagascar. Nah,
betul kan baru 5 menit duduk, dia senyum-senyum dan aku pun mengawali basa-basi
dengan gemulai. Mungkin, karena kami sama-sama masih memperlajari bahasa
Jerman, obrolan kami lancar sekali. Dia juga punya latar belakang yang hampir
mirip denganku, yaitu mantan Au-pair dan sekarang FSJ. Kalo kutebak-tebak, ia
sudah punya pacar di Jerman, dia juga bilang akan menetap saja di Jerman.
Umurnya 2 tahun lebih muda dariku. Namanya panjang sekali, katanya orang
Madgascar namanya panjang-panjang. Kalo soal Madgascar, aku selalu teringat
film Escape to Madagascar. Lalu aku
membatin, mungkinkah di Madagascar dia tinggal di dekat tebing air terjun?
Saat seminar dimulai,
kami pun sekelompok. Nyara panggilannya, aku dan dua anak Jerman (Aline dan
Natalie). Saat ada tugas kelompok, aku selalu bersyukur kalo bisa sekelompok
dengan orang Jerman. Mereka adalah juru bicara yang hebat. Tidak terlalu banyak
ambil pusing dengan tugas diskusi. Selain itu, kalo aku tidak paham dengan
penjelasan aku tinggal melirik mereka dan bertanya. Semenjak di Jerman aku jadi
makin jujur pada diri sendiri, kalo memang tak paham intinya aku menebalkan
muka untuk segera bertanya. Biar sajalah, toh tidak setiap hari bakalan ketemu
kok. Itung-itung mengasah mental.
Akhirnya, jam makan
siang tiba. Makan siang kami lakukan di Kantin Jugendeherberge. Pembicara membagikan kupon untuk ditukarkan dengan
makanan utama. “Fitri, menu hari ini bukan daging babi, silahkan kalau kamu
mau.” Kata Daniela selaku pembicara dan koordinator seminar hari itu. Padahal
aku belum bilang apa-apa, memang beruntung sekali aku pakai jilbab. Pernah juga
dulu, waktu aku mau makan mie di Sebuah toko Asia, penjualnya bilang kalo di
Tempat tersebut semua pakai babi. Kami bertujuh pun mengantri, di Situ aku
menyadari kalo anak Mexico itu ternyata dewasa sekali. Ia cerewet betul,
suaranya nyaring dan sedikit kemayu. Ia juga dulunya Au-pair dan masih belajar
bahasa Jerman, untukku dia sangat terbuka dan terus bicara dengan bahasa Jerman
yang baik. Bedanya aku dan dia, dia tidak terlalu banyak ambil pusing kalau
salah gramatik.
Marie, anak Mexico itu
melakukan FSJ-nya di Jugendherberge dimana kami seminar. Dia kenal semua
pekerjanya dan ramah sekali. Dia juga ternyata diam-diam mengamatiku sewaktu
aku tak sengaja bertemu dengan siswa dari Indonesia yang ikut acara
Internasionalnya Goethe. “Kamu ketemu tetanggamu? Ikut acara Goethe ya?” “Iya,
ah kamu melihatnya ternyata.”
Habis Seminar
Selesai seminar, aku
melarikan diriku ke arah Sungai Main. Aku sengaja tak pulang langsung ke
Ingelheim, karena sudah janjian dengan Angelique, teman FSJ-ku yang tidak
menyelesaikan FSJ-nya selama setahun itu. Aku jadi akrab dengannya entah karena
apa. Seingatku, dia bilang aku lucu lalu kami sering Whatsapp-an dan jadi
sering ketemu. Anak ini umurnya baru menginjak 20 tahun, tapi cara berpikirnya
sudah lebih tua dari aku. Diam-diam menghanyutkan anak Jerman ini. Bicara teman
dari Jerman, aku butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya bisa dekat dengan
mereka. Ya, kalau kuamati di Jerman ini ada tingkatan pertemanan yang manjadi
rahasia umum. Ada yang dianggap kenalan, ada yang dianggap kolega, lalu dicap
sebagai teman, sebagai sahabat dan banyak pula yang dianggap Cuma angin lalu.
Entahlah, aku dianggap apa, aku tak mau memusingkan diri. Bisa menaklukan
mereka saja aku sudah senang.
Kami janjian ketemu jam
18.00-an selesai dia bekerja di Klinik gigi. Saat itu jam 16.00 aku sudah
sampai di pusat perbelanjaan Zeil,
Frankfurt. Sore itu padat seperti biasa. Akan banyak ditemui orang-orang Arab
berjilbab, orang Turki, dan orang Korea. Mereka berkelompok dan bersama
keluarganya ada di Sepanjang pusat perbelanjaan itu. Aku yang berjalan sendiri
Cuma menjadi pengamat saja, bahwa Jerman ini penuh sekali.
Tiba-tiba aku teringat
hal soal para pencari suaka yang baru-baru ini saja semakin banyak datang.
Mereka ekspansi besar-besaran ke Eropa, Ke Inggris, ke Negara-negara yang lebih
memberikan rasa aman dibanding dengan Negara asal mereka. Sementara ini, para
pencari suaka yang paling banyak datang dari Balkan dan Syria. Aku pun pernah
sempat mendengar siaran berita, ada yang membandingkan, lebih baik di Penjara
di Jerman daripada hidup di Negaranya yang sedang konflik perang itu. Aku tidak
berani membayangkan semencekam apakah keadaan Negara-negara itu. Nasib para pencari suaka yang datang di
Jerman contohnya, mereka tidak langsung bisa hidup nyaman. Mereka harus rela
tidur beratapkan langit, tidur di dalam tenda, mengantri ini itu, karena saking
banyaknya yang datang, tiap hari. Kalo sudah begitu, melihat keadaanku
sekarang, aku tentu mengucap syukur pada Allah. Aku masih bisa tidur di Kasur,
masih bisa makan, masih bisa bangun dengan tenang tanpa kecaman. Nikmat mana
lagi yang akan kudustakan. Masya Allah.
Pandanganku menyebar ke
beberapa penjuru. Kulihat ada yang sedang atraksi main api. Api yang menjilat
itu dijilat sang Pemeran yang sepertinya dari Afrika. Ia berlima. Dari tadi
mereka mempertontonkan pertunjukan semacam itu, diselingi tarian dan menyanyi.
Mereka berhasil membuat orang-orang berhenti dan mengelilingi mereka. Siapa
yang suka, tinggal merogoh koin dan mnyumbangkan pada pemuda-pemuda berambut
gondrong tersebut.
Sambil menunggu Angi, aku
masuk ke Sebuah pusat belanja sandang dan pernak-pernik lain yang terkenal
seantero Jerman punya harga yang sangat murah, ialah Primark. Kalau
mengkonversikan harganya dalam Rupiah tentu agak sedikit mahal. Tapi ini Jerman
bung, di mana lagi dapat kaos baru yang kelihatan keren seharga 3 Euro. Primark
ini Cuma ada di beberapa Kota besar di Jerman, tiap waktu selalu ramai. Aku
sampai berdecak kagum, tiap hari orang-orang bisa beli baju murah, ganti-ganti,
kalo bosan tinggal beli lagi. Aku tak mau kalah, kucari baju yang harganya
miring, 2 Euro dan beberapa potong kaos. Beberapa kali ke Primark yang mungkin
bisa kugolongkan untuk kalangan menengah bawah ini, kasirnya selalu ramai.
Antriannya subhanallah berjubel dan untungnya ada banyak kasir.
Sampailah sekarang
giliranku. Kubalas ucapan terimakasih penjaga kasir dan bergegas pergi.
Kukutuki diriku, “Haaaah kalaaap kalaaap! Cepat pergi jangan masuk lagi!”DI
luar kuamati sebuah toko olahraga berharga mahal dikuasai pemuda-pemuda Eropa
tampan dan menawan. Sempurna sekali mereka dari kejauhan. Perutnya rata,
wajahnya rupawan dengan brewok tipis, hidungnya mbangir seperti cocor bebek.
Aku Cuma bisa mengagumi ciptaan Tuhan itu dari jarak 500 meter, mendekat lagi
aku grogi, takut mereka menggodaku (ini khayalan).
Eh itu Angi datang.
Pukul 18.05 tepat saat kulihat layar telepon selulerku. Ia katanya kelaparan,
capek 3 jam bekerja. Ia bilang ingin makan yang instan. Kuturuti saja saat dia
ingin Mcd. Tak tanggung-tanggung, ia pesan 5 biji Hamburger. Ya Allah, mana tahan
aku untuk tidak ikut-ikut. Cukup kupesan 3 biji saja, 2 ayam dan 1keju. Kami
duduk dan makan dengan lahap. Obrolan kami random sekali, berganti-ganti mulai
dari Bahncard 50 (semacam kartu
anggota naik kereta, yang bikin empunya dapat diskon), jam tangan mahal,
Minion, Pencari suaka, tiket pulang dan duit. Ternyata dia juga toh...hehehe.
Pertemuan kami
sebelumnya juga di Frankfurt, kami jalan kaki jauh banged sampai Angi komen
besoknya mau mbolos kerja saking capeknya. Ah hiperbol kamu dek, ledekku waktu
itu. Di pertemuan yang sekarang, kami sepakat duduk-duduk saja dan masuk toko
jam. Ia kebelet pengen beli jam yang harganya 150 Euro. Pengennya yang seharga
3450. Duh dek bercandamu ini loh heheh. Setelah dipikir-pikir, dia mau beli
bulan depan aja, uang ditabungannya tinggal dikit. Eh la kok sama.
Terpaksa ku pamit undur
diri pukul 20.00 malam, aku harus kembali ke Ingelheim, butuh waktu lebih dari
satu jam untuk sampai Kamar. Jadilah, pertemuan kami diakhiri dengan baik
sekali. Terimakasih dek...
Kukira setiap hal yang
kualami hari itu bukanlah kebetulan, tapi memang rencana dari Tuhan yang harus
kuungkap sendiri maknanya. Dari hari itu, aku menginginkan hal yang berbeda
dalam keesokan harinya, termasuk juga dalam menyampaikan cerita...
Ah random...
0 Response to "Kepingan Kecil di Frankfurt"
Post a Comment
Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D