Benar atau Salahkah? Relatif Katanya
Ada
seorang Raja yang baik budinya, hatta suatu hari ia memberi perintah pada para
pelayannya. Ia meminta 5 orang pelayan agar berkenan ditutup matanya dengan
kain. Kain itu kemudian diikat supaya kelima orang tadi tak bisa melihat.
Dibawanya
mereka ke Sebuah Tempat. Sang Raja kemudian mengeluarkan sesuatu yang belum
pernah dilihat anak buahnya. Dengan kondisi masih ditutup matanya, kelima
pelayan tadi diberi petunjuk untuk menyentuh dan merasakan sesuatu yang dibawa
raja.
Keesokan
harinya, pelayan satu berkata bahwa ia merasa memegang sesuatu yang kokoh
seperti batang pohon.
Belum selesai menjelaskan pelayan dua sudah mencercanya,
“Salah, itu bukan seperti pohon! Itu adalah sebuah benda elastis dan berair.”
Baru selesai bicara, pelayan tiga pun menimpali dan menyalahkan jawaban kedua
pelayan tadi. Saling menyalahkan dan merasa paling benar terus berlanjut sampai
pada pelayan lima. Mereka merasa jawaban individu yang mereka katakan adalah
yang paling benar. Keributan itu pun membuat raja bertindak.
“Cukup
sudah, tolong kalian hentikan keributan kalian.” Kata sang Raja bijak. Sesuatu
yang disentuh para pelayan itu akhirnya diperlihatkan kepada kelima orang tadi.
Sesuatu itu ternyata adalah seekor gajah besar. Mereka ternganga dan bingung
sendiri. Raja pun mahfum dan menjelaskan bahwa kelima orang tadi menyentuh
gajah di bagian yang berbeda-beda. Ada yang menyentuh kaki, belalai, perut,
pantat dan punggung.
“Jawaban
kalian tidak ada yang salah. Semua benar jika kalian juga merasakan sisi yang
lain.” Keributan ini terjadi karena kalian tidak peduli dengan apa yang lain
rasakan, dan kalian terlalu cepat menyimpulkan.” Tutup sang Raja. (Kisah
diambil dari kisah Buddha, isi cerita disesuaikan tanpa mengubah esensi).
Cerita itu menjadi
refleksi seminar Freiwillige
Soziales Jahr (FSJ) yang diikuti
penulis. Seminar ini (18/08) adalah bagian dari program bagi mereka yang
memperpanjang masa FSJnya. Tema yang diangkat ialah Konflikt (Konflik). Selain cerita itu, kami disuguhi video Loriot.
Kebenaran itu relatif
katanya, sesuatu yang benar bagi orang lain bisa dianggap kebohongan oleh pihak
yang lain. Kisah di atas memberi pemahaman bahwa ada beberapa kebenaran yang
disampaikan dengan cara berbeda. Manusia diajarkan untuk tidak merasa paling
benar sendiri, karena ya selain hal di atas, setiap kepala dan diri manusia itu
punya cara pandang berbeda dalam melihat masalah.
Daniela selaku pembicara,
mengajak 7 peserta gabungan dari 3 Träger
di Wilayah Hessen mendefinisikan apa itu Konflik. Kata konflik terebut berasal
dari bahasa Latin, yaitu “Conflictus” yang berarti memukul satu sama lain,
berhantaman, perang dan bertengkar.
Tidak hanya
mendefinisikan, para peserta diajak untuk belajar melalui fase-fase dalam
penyelesaian konflik. Pertama, menemukan pokok masalah dalam konflik itu
sendiri, disusul dengan menentukan tujuan dari adanya masalah tersebut dengan
maksud, ingin diapakan sebenarnya masalah itu. Para peserta sepakat menjawab
tujuannya adalah menyelesaikan masalah itu. Setelah jelas, peserta diminta
memikirkan hikmah apa yang bisa diambil dari adanya masalah tersebut.
Pesertajuga diminta merumuskan cara apa saja yang bisa ditempuh untuk
menyelesaikannya.
Dalam seminar itu, kami
juga diajak simulasi menyampaikan kritik yang tidak bertele-tele. Apakah kritik
itu hal yang penting untuk diungkap? Sekali lagi, tidak ada jawaban yang paling
benar sendiri. Menurut penulis pribadi, kritik itu adalah bentuk komunikasi
dengan ragam bahasa yang bersifat mengingatkan. Sesuatu yang diperhalus untuk
mengomentari hal yang kurang mengenakkan. Hal ini kadang-kadang diperlukan
juga, Cuma saja gimana cara elegannya itu tergantung individu masing-masing.
Salah satu cara yang bisa
dipertimbangkan adalah pada pemilihan kata-kata dalam penyampaian. Katanya,
lebih baik diawali dengan kata “menurutku.” “”Menurutku ada yang gak pas ni di
antara kita.” Contohnya. Istilah lainnya pake pemanasan dulu. Gak langsung
tabrak tanpa memperhatikan kondisi lawan bicara.
Pernah dikritik?
Pernah! Hmm, rasanya
seperti ditabuh. Drum....drum bergetar hebat dan ingin lari karena takut
mendengar kenyataan. Dengan adanya kritik yang dilakukan secara personal ini,
malahan mengurangi adanya kesalah pahaman. Penyampaiannya sangat rapi, diawali
dengan duduk di Tempat santai, dibuat rilex suasananya dan diawali dengan mangungkap
hal positif. Santai sekali dan hati-hati. Pad sesi kritik itu, penulis juga
dikasih kesempatan untuk memberi komentar. Hiiiii deg deg deg.. dikritik itu
rasanya tik...tik.. banged.
Dari seminar kemarin,
penulis seperti mendapat ilham....
Ilham untuk berdamai
dengan diri sendiri, mengatasi konflik dengan diri sendiri dengan memahami
sebenernya apa sih yang penulis anggap konflik itu. Beneran hal itu pantas itu
disebut konflik, ato penulis Cuma cari-cari konflik buatan?
Random sekali sebenernya!
Gitu dulu ah....
FYI, tempat seminarnya
kemarin di Jugendherberge Frankfurt, Haus der Jugend, Deutschherrnufer 23,
60594, Frankfurt. Di Situ, ketemu anak-anak Indonesia yang lagi ikutan acara
Goethe Institut pas makan siang di Kantinnya. Aber ich weiss nicht was.
0 Response to "Benar atau Salahkah? Relatif Katanya"
Post a Comment
Maturnuwun kunjungan dan komentarnya :D